
Padang Panjang, 24 Agustus 2025 — IBBT Institute, sebuah perkumpulan seni yang tumbuh dan berkembang di Padang Panjang, digandrungi oleh sejumlah praktisi hingga akademisi seni, menghadirkan agenda pertemuan bertajuk ‘Ampadu Tanah’ untuk seri yang pertama. Forum diskusi dan pemutaran karya ini mempertemukan refleksi, strategi, dan pengalaman kreatif dalam konteks penggarapan karya seni. Pada seri kali ini, dihadirkan Taufik Adam, seorang komposer dan multi-instrumentalis asal Sumatera Barat yang telah menapaki panggung seni hingga tingkat internasional. Secara literal, Ampadu Tanah merupakan sejenis ramuan herbal tradisional yang digunakan sebagai obat alami. Dalam konteks ini, istilah tersebut dimaknai ulang sebagai metafora diskusi: sebuah ‘ramuan organik’ bagi aktivasi pola pikir. Ia bukan sesuatu yang instan, melainkan hasil dari proses, pertukaran gagasan, dan kerja kolaboratif. Dengan demikian, ‘Ampadu Tanah’ dihadirkan sebagai ruang untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, baik dalam penciptaan karya maupun dalam membaca dinamika sosial budaya. Agenda ini menjadi upaya untuk menyambung pengetahuan interdisiplin, lintas generasi, dan lintas wilayah kerja kreatif.
Film, Musikal, dan Strategi Artistik. Agenda dibuka dengan pemutaran sebuah film drama musikal karya sutradara Garin Nugroho, di mana Taufik Adam terlibat sebagai composer dan arranger dalam penggarapannya. Film ini menjadi titik masuk bagi diskusi tentang strategi artistik dan estetika musikal lintas medium. Taufik membagikan proses tiga bulan penggarapan, termasuk pendekatan produksi alternaatif, pengambilan gambar hanya dengan panduan instrumen keyboard dan metronome, sementara seluruh produksi musikal dilakukan dalam kerja studio. Tantangan teknis seperti mixing dialog yang kompleks hingga kerja simultan audio-visual menuntut kecermatan. Dalam refleksinya, Taufik menekankan pentingnya keberanian mengambil risiko, presisi analisis, serta ketepatan pemilihan musisi pendukung hingga aktor. Pandangan ini selaras dengan filsuf pragmatis John Dewey dalam Art as Experience (1934), yang menyatakan bahwa seni tidak lahir dari kepastian, melainkan dari pengalaman yang penuh ketidakpastian dan transformasi: “Art is not the possession of the artist but becomes an experience for the audience in which the risk of transformation is inherent.” Taufik juga menjelaskan bahwa struktur musikalnya merujuk pada Rock Opera sebagai inspirasi agar karya tidak keluar dari rancangan awal. Namun, ketika film tersebut diterjemahkan ke dalam format musikal teater, muncul tantangan besar: menyesuaikan selera, intensitaas, struktur naratif dan kemasan pertunjukan.

Diskusi dan Tanggapan: Perspektif Kolektif. Sesi diskusi setelah pemutaran film menjadi ruang refleksi kolektif. Turut hadir para akademisi seni dari Program Studi Musik Film ISI Padangpanjang, seperti Dr. Sn. Fahmi Marh, S.Sn., M.Sn., Vindo Alhamda, S.Sn., M.Sn., Weldi Syaputra, M.Sn, serta Rama Anggara, M.Sn., yang merupakan satu di antara penggagas di dalam forum IBBT Institute. Fahmi menyoroti pentingnya keterpaduan unsur visual dan musikal. Baginya, musik yang baik bukan sekadar indah, melainkan harus menguatkan narasi visual. Gagasannya bisa dibaca berdampingan dengan teori Sergei Eisenstein dalam Film Form (1949): “The sound, if properly used, will not simply duplicate the visual image but will enrich it.” Sementara itu, Weldi mengangkat persoalan relasi antara seniman dan sistem kerja industri. Ia menekankan bahwa dalam ruang komersial, seniman harus cermat menjaga prinsip tanpa menutup ruang negosiasi. Pandangannya mengingatkan pada Pierre Bourdieu dalam The Field of Cultural Production (1993), yang menyebut posisi seniman selalu berada di antara otonomi kreatif dan tuntutan pasar: “Artistic production is always caught between the field of restricted production, oriented toward peers, and the field of large-scale production, oriented toward commercial success.” Perspektif lain, Megi menyoroti ketimpangan kompetensi dan minimnya inklusivitas dalam komunitas seni. Hal ini beresonansi dengan pemikiran Jacques Rancière dalam The Politics of Aesthetics (2004), bahwa seni adalah politik karena membuka ruang baru bagi siapa saja untuk hadir: “Aesthetic experience is a redistribution of the sensible, a reconfiguration of what can be seen, said, and done.”
Penutup: Menumbuhkan Kesadaran Bersama. Secara keseluruhan, sesi diskusi ini tidak hanya menganalisis proses musikal, tetapi juga memperlihatkan persinggungan antara praktik artistik, etika kerja, dan kondisi sosial yang membentuk ekosistem kesenian. Dalam kerangka ini, forum Ampadu Tanah bergerak seperti yang digambarkan Nicolas Bourriaud dalam Relational Aesthetics (1998): “Art is a state of encounter.” Dengan semangat organik dan non-instruktif, IBBT melalui Ampadu Tanah mencoba mempertemukan seniman, akademisi, dan pelaku budaya dalam satu ruang belajar bersama. Forum ini menjadi ruang rawat kolektif, tempat di mana kompleksitas produksi, prinsip kerja, dan strategi artistik dibicarakan secara jujur dan terbuka. Seni, seperti ditegaskan sepanjang pertemuan ini, bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga soal proses: bagaimana seniman berdamai dengan perubahan, bernegosiasi dengan sistem, dan tetap menjaga nilai-nilai kreatif yang personal maupun profesional.
Ditulis oleh Rama Anggara, M.Sn.